Samarinda – Catatan ini ditulis oleh Ir. Fajar Alam, S.T., M.Ling., IPM, Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Sains dan CVTOGEL Teknologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.
Pada tahun 2025, akhirnya saya kembali bisa berbuka di masjid Shiratal Mustaqiem yang ada di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda.
Masjid Shiratal Mustaqiem secara geologi, berada pada ekosistem dataran banjir berbentuk meander dari Sungai Mahakam.
Meander dapat dijelaskan sebagai bagian sungai yang membentuk kelokan. Meander ini mengubah arah aliran Sungai Mahakam yang sebelumnya berarah barat timur, menjadi berarah utara selatan.
Ini terjadi akibat gaya tektonik akibat naiknya Tinggian Kuching di umur geologi sekitar Oligo-Miosen (sekitar 34 juta tahun lalu). Hal ini menyebabkan banyaknya material endapan lepas terbawa ke arah timur menuju Selat Makassar, dipengaruhi faktor gravitasi dan volume pengendapan sedimen yang besar.
Tabrakan busur-benua pada Miosen Awal (sekitar 23 juta tahun lalu) menyebabkan deformasi, pengangkatan, dan inversi di timur Kalimantan, membentuk antiklinorium Samarinda. Membuat keberadaan gugusan perbukitan memanjang relatif utara selatan yang arah miringnya batuan bisa berhadapan atau saling memunggungi, laksana seng gelombang.
Kawasan ini, tanahnya senantiasa terbarui dari limpasan sungai hasil erosi dari hulu. Membawa lapukan tanah lapisan O, A, mungkin sampai B kalau mengerosi pada sisi tebing sungainya dengan tekstur pasir, lanau hingga lempung. Membawa serasah hasil guguran daun, ranting, cabang, batang di lantai hutan yang terbawa aliran air hujan. Secara formasi geologi, dataran ini menjadi bagian dari endapan Kuarter dengan usia paling tua sekitar 2 juta tahun lalu.
Posisi masjid Shiratal Mustaqiem ada pada kawasan kampung lama yang dikenal dengan nama Mangkupalas. Yang tampaknya mendapatkan pengaruh dialek Banjar, dari kata Mangkupelas.
Ada dua kawasan dengan kata depan Mangku di wilayah selatan Sungai Mahakam kawasan Kota Samarinda saat ini, yakni Mangkupalas dan Mangkujenang. Baik Mangkupalas maupun Mangkujenang, memiliki sungai dengan nama yang sama dengan nama kawasannya masing-masing.
Ada Sungai Mangkupalas, dan Sungai Mangkujenang. Keberadaan kedua sungai ini perlu dinaturalisasi, memberikan ruang lebih banyak untuk ruang limpas air.
Utamanya Sungai Mangkupalas, yang sudah banyak dihimpit rumah panggung di kedua tepi sungainya. Mangkujenang, berjarak sekitar 3 kilometer di hilir Mangkupalas, menurut jarak berkapal.
Kedua wilayah Mangku ini, dipisahkan oleh bukit yang menurut peta terbitan 1944 disebut sebagai G. Segara. Kini, bukit itu disebut Bukit RCTI atau Gunung RCTI, dan dilewati oleh jalan Trikora.
Bagian lain dari kawasan sekitar perbukitan memanjang ini kemudian disebut sebagai Simpang Pasir. Toponim yang berkaitan dengan keberadaan batupasir kuarsa yang menyusun kawasan ini, dan sebagian ditambang masyarakat.
Hal ini dapat teramati pada penambangan batupasir kuarsa yang berada tak jauh dari simpang masuk jalan tol menuju Balikpapan. Jejak keberadaan pertanian kawasan ini, karena dianggap tanahnya memiliki kesuburan yang memadai setidaknya untuk cocok tanam padi, ada pada kawasan Masjid Baitunnur kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang. Yang dulunya bagian dari kawasan Mangkupalas. Juga, pada kawasan unit pengantongan Semen Tonasa daerah muara Sungai Palaran, sisi hilir dari kawasan Mangkujenang.
Bedanya, di kawasan Mangkupalas sawahnya tinggal kenangan, sementara di hilir Mangkujenang kawasan Palaran, sebagian masih lestari. Hal ini diketahui dengan membandingkannya terhadap peta bertarikh tahun 1944.
Shiratal Mustaqiem dan Cagar Budaya
Pemandangan antrean batu bara terlihat di Sungai Mahakam, persisnya di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Sudah sepekan terakhir puluhan kapal tongkang batu bara berjajar di sepanjang aliran sungai.
Masjid yang dibangun pada 1881 ini, telah melewati masa asisten residen Hindia Belanda, sekian presiden Republik Indonesia hingga saat ini. Restorasi masjid dikerjakan hati-hati, dengan tidak mengubah fasad bangunan. Bangunan ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Kota Samarinda.
Saya masuk dalam Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Samarinda yang ikut menelaah masjid ini, sewaktu diajukan sebagai cagar budaya. Setelah ditelaah TACB Kota Samarinda dan memberikan rekomendasi penetapan, barulah pemerintah Kota Samarinda menetapkannya melalui Surat Keputusan.
Selain bangunan cagar budaya masjid Shiratal Mustaqiem, di masjid ini ada beberapa obyek cagar budaya yang kemudian ditetapkan pemerintah Kota Samarinda setelah ditelaah dan direkomendasikan TACB Kota Samarinda, meliputi mimbar Masjid Shiratal Mustaqiem dan kotak infaq.
Bidang cagar budaya ini memang perlu kerja sama dari lintas keilmuan, karena banyaknya variasi jenis obyek cagar budaya yang ada. Obyeknya bisa berupa benda, struktur, bangunan, situs, hingga kawasan.
Irisan dengan geologinya bisa bermacam-macam. Temuan lukisan gua di gugusan karst Sangkulirang-Mangkalihat misalnya. Ada di ekosistem yang secara geologi, khas, Ekosistem karst. Jenis proporsi mineral batuannya bisa berbeda antara kalsit, dolomit atau mineral lainnya, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keawetan lukisan gua nya. Itu contoh kecil.
Belum lagi jejak artefak pusat kerajaan Kutai Mulawarman (di Muara Kaman) maupun Kutai Kartanegara (di Anggana, Jembayan, Tenggarong) yang temuannya banyak di bawah muka tanah. Ada perubahan bentuk lahan dan pengendapan kuarter dalam masa ratusan tahun. Selain juga kesengajaan berupa dipendam. Aspek geologinya kental.
Belum lagi temuan prasasti yupa di Muara Kaman berbahan batuan beku jenis andesit. Sampai kini tak pernah dicari tahu, andesit dari manakah kiranya itu. Karena Muara Kaman ini, beratus kilometer dari keberadaan andesit terdekat.
Dari hulu Mahakam kah? Dari Sulawesi kah? Dari Jawa kah? Atau lainnya? Implikasi diketahuinya asal batuan bahan baku prasasti bisa bermacam-macam. Bisa terkait asal trah kerajaan, jenis alat perhubungan, keterkaitan kelompok masyarakat di wilayah asal bahan baku dan wilayah temuan prasasti, dan banyak hal lainnya.
Perspektif Masjid sebagai Penanda Pusat Peradaban
Fajar Alam, Kepala Prodi Geologi UMKT Samarinda.
Keberadaan Mangkupalas, kawasan yang kemudian ramai dihuni masyarakat, selain faktor suaka yang diberikan Sultan Kutai Kertanegara, diyakini juga berkaitan dengan posisi strategisnya sebagai lokasi endap bantaran Sungai Mahakam dari hulu.
Juga lokasi endap dari muara Sungai Mangkupalas terhadap migran asal Sulawesi yang tak ingin berada di tengah situasi perang yang melanda kerajaan di Sulawesi bagian selatan saat itu.
Di seberang muara Sungai Mangkupalas, ada muara Sungai Karang Mumus yang tampaknya sudah lebih dulu ramai di masa lalu oleh mukimin Banjar maupun Kutai.
Sungai Mangkupalas memberikan kecukupan kebutuhan protein ikan, dengan sumber karbohidrat dari padi yang ditanam di persawahan seputar Sungai Mangkupalas. Perkampungan yang ramai, bisa ditandai dari kerapatan maupun ukuran tempat ibadah yang ada.
Pada jalur Sungai Karang Mumus, dari arah muaranya kita bisa menjumpai keberadaan surau atau langgar atau musholla atau masjid dalam jarak kurang 200 meter ke arah hulu. Pada jarak sekitar 2,5 km dari muara Sungai Karang Mumus, malah ada masjid yang tergolong besar, mirip masjid Shiratal Mustaqiem.
Masjid itu bernama Baiturrahim, ada di ruas jalan Lambung Mangkurat, yang diyakini banyak mukimin Banjarnya di masa silam. Serupa dengan Jalan Pangeran Suryanata dan Jalan Pangeran Antasari yang banyak mukimin Banjarnya.
Masjid lain berukuran besar, ada di kawasan Pasar Pagi, yang dulunya ada di tepian Sungai Mahakam. Di kawasan perkampungan yang dulu bernama HBS. Handel Maatschappij Borneo.
Kawasan niaga yang ramai dengan perkampungan saudagar Islam, bersisian dengan perkampungan Tionghoa. Kampung Tionghoa menuju ke arah Sungai Karang Mumus dan memanjang ke utara hingga seputar jembatan Sungai Pinang. Pada perimeternya, terdapat kampung Bugis dan kampung Jawa yang kemudian menjadi nama kelurahan saat ini.
Demikian pula yang ada di Mangkupalas, dengan keberadaan masjid Shiratal Mustaqiem yang pada kawasan itu, banyak terdapat bangunan maupun struktur hingga budaya tak benda yang arkaik.
Ada dermaga Batang Aji yang diyakini sebagai tempat menyambut Aji Imbut yang baru kembali dari Sulawesi, diamankan di sana selepas ayahanda beliau, Sultan Aji Muhammad Idris wafat dalam peperangan membela mertuanya melawan Belanda. Ada rumah saudagar bergaya Sulawesi model panggung yang anggota keluarganya biasa menenun sarung Bugis, dan kemudian populer disebut Sarung Samarinda. Tak kurang kunjungan wakil presiden Muhammad Hatta di masa lampau, membuat satu motif yang dipilih beliau, kemudian disebut motif Hatta. Ada perkampungan pembuat ketupat juga di seputar masjid ini. Tak kurang, ada jua produsen minyak gosok setipe minyak tawon di Sulawesi, dengan produk bernama Minyak Banteng yang bisa diperoleh di toko obat atau apotek.
Pun, keistimewaan hidangan bubur peca, yang hanya dibuat pada Ramadan dan dihidangkan di masjid Shiratal Mustaqiem. Sehari mencapai 300 porsi, dengan waktu memasak mulai pukul 08.00 pagi. Bergilir penyiapannya untuk menghemat tenaga.
Bu Mardiana, ditugasi oleh pengelola masjid sejak puluhan tahun lalu. 22 tahun sudah ia bertugas, menurut penuturannya, semenjak suaminya meninggal. Ia merupakan generasi ketiga pemasak bubur peca, yang saat ini dipercaya memastikan macam dan proporsi bumbunya sesuai pakem turun temurun. Memastikan setiap porsi bubur peca ditemani minuman the susu, air mineral, dan jajanan manis pembuka puasa.
Penutup
Masjid Shiratal Mustaqiem telah menjadi landmark Kota Samarinda. Namun masih banyak yang belum memahaminya sebagai suatu ekosistem. Ekosistem alam maupun ekosistem kebudayaan. Sesuatu yang berkembang karena kondisi alam, dan kemudian faktor-faktor kebudayaan yang menyertainya.
Aktifitas yang dikelola berkelanjutan oleh Pemerintah Kota Samarinda perlu dilakukan terkait ini. Untuk merajut apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu kota, menuju masa depan yang penuh tantangan pelestarian dan pemanfaatan alam serta kebudayaan yang hidup, berdaya guna dan berkelanjutan.
Sebagai bagian dari Sustainable Development Goals, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dicita-citakan untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet dan memastikan semua anggota masyarakat menikmati kedamaian dan kesejahteraan.
Sumber : Hugouelman.com